MAKALAH
MAHKAMAH AGUNG
WAHYUNI AZIZAH
XI IA 1
37
SMA NEGERI 2 MAKASSAR
TAHUN 2016/2017
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji
syukur kami panjatkan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT, karena tanpa
rahmat dan ridhoNya, kita tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
selesai tepat waktu dengan judul “Mahkamah Agung (MA) di Indonesia”
Makalah ini dibuat
untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam makalah ini kami membahas tentang pengertian, tugas, fungsi, wewenang,
sejarah, serta kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Mahkamah Agung. Akhirnya kami
sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri kami dan khususnya pembaca
pada umumnya. Seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, begitulah
adanya makalah ini.
Dengan segala
kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan
dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan
pada waktu mendatang.
Makassar, 24
Oktober 2015
Penyusun
Daftar Isi
Judul
…………………………………………………………………………………………………… i
Kata Pengantar
…………………………………………………………………………………… ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
…………………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah
…………………………………………………………………….. 1
C. Tujuan Pembahasan
………………………………………………………………….. 1
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Mahkamah
Agung …………………………………………………… 2
B.
Sejarah
Mahkamah Agung ………………………………………………………… 2
C. Wewenang dan Fungsi
Mahkamah Agung …………………………………. 8
D.
Kasus-kasus
serta Kelebihan dan Kekurangan yang pernah ditangani Mahkamah Agung …………………………………………………….
10
Bab III Penutupan
A. Kesimpulan
……………………………………………………………………………… 15
B. Saran
………………………………………………………………………………………. 15
Daftar Pustaka
…………………………………………………………………………………..16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya
memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar
atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai
dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip
baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip
“Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti system supremasi
parlemen yang berlaku sebelumnya.
Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu
diadakan mekanisme untuk memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi
antara lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat
sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Maka dari
itu MA di bentuk agar (the supreme law of the land ) benar-benar dijalankan
atau ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan
prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi factor bagi
penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu
bangsa.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Apa yang di maksud dengan Mahkamah Agung ?
b.
Bagaimana sejarah Mahkamah Agung ?
c.
Apa saja tugas, fungsi, dan wewenang Mahkamah Agung ?
d.
Kelebihan dan kekurangan Mahkamah Agung?
e.
Kasus – kasus yang
ditangani Mahkamah Agung (minimal 2) ?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas tujuan kami membuat makalah ini, antara lain :
1. Mengetahui pengertian Mahkamah Agung
2. Mengetahui sejarah Mahkamah Agung
3. Mengetahui tugas, fungsi, dan wewenang Mahkamah Agung
4. Mengetahui kelebihan dan
kekurangan dari Mahkamah Agung
5. Mengetahui kasus-kasus yang pernah ditangani Mahkamah Agung
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mahkamah Agung
Mahkamah agung adalah lembaga tertinggi dalam
system ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah agung membawahi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara.
Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada
UU. No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman UU ini juga telah mencabut
dan membatalkan berlakunya UU No. 4 tahun 2004. Undang-undang ini di susun
karena UU No.4 Tahun 2004 secara substansi dinilai kurang mengakomodir masalah
kekuasaan kehakiman yang cakupannya cukup luas, selain itu juga karena adanya
judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 34 UU No.4 Tahun 2004, karena
setelah pasal dalam undang-undang yang di-review tersebut diputus bertentangan
dengan UUD, maka saat itu juga pasal dalam undang-undang tersebut tidak
berlaku, sehingga untuk mengisi kekosongan aturan/hukum, maka perlu segera
melakukan perubahan pada undang-undang dimaksud.
B.
Sejarah
Mahkamah Agung
Masa Penjajahan
Belanda
Justitie Hooggerechtshof Kriminil : Landraad Raad
van justitie Hooggerechtshof.
Pengadilan
Hooggerechtshof merupakan Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta
dengan daerah hukum meliputi seluruh Indonesia. Hooggerechtshof terdiri dari
seorang Ketua dan 2 orang anggota, seorang Pokrol jendral dan 2 orang Advokat
Jendral, seorang Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau
lebih. Jikalau perlu Gubernur Jendral dapat menambah susunan Hooggerechtshof
tersebut dengan seorang Wakil Ketua dan seorang/lebih anggota lagi.
Tugas/kewenangan
Hooggerechtshof :
1)
mengawasi
jalannya peradilan di seluruh Indonesia sehingga dapat berjalan secara patut
dan wajar.
2)
Mengawasi
perbuatan/kelakuan Hakim serta Pengadilan-pengadilan.
3)
Memberi
tegoran-tegoran apabila diperlukan.
4)
Berhak minta
laporan, keterangan-keterangan dari semua pengadilan baik sipil maupun militer,
Pokrol Jendral dan lain pejabat Penuntut Umum.
5)
Sebagai tingkat
pertama dan terakhir mengadili perselisihan-perselisihan tentang kekuasaan
mengadili diantara, pertama: pengadilan-pengadilan yang melakukan peradilan
atas nama Raja, diantara pengadilan-pengadilan ini dengan pengadilan-pengadilan
adat di dalam daerah yang langsung diperintah oleh Gubernemen, dimana rakyat
dibiarkan mempunyai peradilan sendiri. Kedua: diantara pengadilan-pengadilan
tersebut diatas, dengan pengadilan-pengadilan Swapraja, sepanjang ini
dimungkinkan menurut perjanjian-perjanjian politik dengan daerah-daerah
pengadilan yang berselisih tidak ada di dalam daerah hukum appelraad yang sama,
dan mengadili di antara appelraad-appelradd. Dan Ketiga: diantara pengadilan
sipil dan pengadilan militer, kecuali jikalau perselisihan itu timbul diantara
Hooggerechtshof sendiri dengan Hoogmilitairgerechtshof, didalam hal mana diputuskan
oleh Gubernur Jendral.
Masa
Penjajahan Jepang
Pada jaman penjajahan Jepang, badan Kehakiman
ter¬tinggi disebut Saikoo Hooin. Kemudian dihapuskan pada tahun 1944 dengan
Osamu Seirei (Undang-Undang) No. 2 tahun 1944, sehingga segala tugasnya
dilimpahkan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi).
Berikut
ini isi Osamu Seirei (Undang-undang Jepang) No. 2 tahun 1944 :
OSAMU
SEIREI No. 2Tentang mengoebah soesoenan pengadilan dan sebagainja
Pasal
1 :
Oentoek
sementara waktoe, pekerdjaan Saikoo Hooin (Pengadilan Agoeng) den Saikoo
Kensatu Kyuku (Kedjaksaan Pengadilan Agoeng) dihentikan, serta hal-hal jang
termasoek dalam kekoeasaannja dioeroes menoeroet atoeran pasal 2 sampai pasal
6.
Pasal
2 :
Perkara
jang diadili lagi oleh Saikoo Hooin, jang dimaksoed dalam pasal 9,
Oendang-oendang No. 34, tahoen 2602 (Osamu Seirei No. 3), jaitoe perkara jang
telah diadili oleh Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerin¬tah Balatentera, ketjuali
Kaikyoo Kootoo Hooin atau Mahkamah Islam Tinggi den Sooryo Hooin atau
Pengadilan Agama, selandjoetnja demi¬kian) - dalamnja tidak tennasoek Kootoo
Hooin (Pengadilan Tinggi) -,jang ada didaerah kekoeasaan Kootoo Hooin, diadili
oleh Kootoo Hooin itoe dengan permoesyawaratan tiga orang hakim; akan tetapi
djika dipandang perloe oleh Kootoo Hooin itoe, maka perkara itoe boleh
Diserahkan kepada Kootoo Hooin lain.
Atjara
mengadili perkara jang diadili lagi dan hal-hal jang perloe tentang oeroesan
jang dimaksoed pada ajat diatas, heroes menoeroet petoendjoek Gunseikan.
Pasal
3 :
Kekoeasaan
Saikoo Hooin jang ditetapkan dalam pasal 157, ,, Reglement op de Rechterlbke
Organisatie" dilakoekan oleh Kootoo Hooin terhadap Gunsei; Hooin jang ada
dalam daerah kekoeasannja.
Kekoeasaan
Saikoo Hooin jang. ditetapkan dalam pasal 162, „Reglement op de Rechterlijke
Organiwtie" dilakoekan oleh Djakarta Kootoo Hooin.
Pasal
4 :
Kekoeasaan
djabatan ketoea. Saikoo Hooin menoeroet atoeran kalimat penghabisan dalam ajat
2, pasal 5, Oendang-oendang No. 34, tahom 2602 (Owmu Seirei No. 30) dilakoekan
oleh ketoea Kootoo Hooin.
Pasal
5 :
Kekoeasam djabaan ketoea Saikoo
Kenwtu Kyoku, termasoek djoega kekoeawan tentang hal-hal jang ditetapkan lalam
pasai 180 „Reglement op de Rechterlijke Organiwtie" dilakoekan oleh
Gunsei¬kaobu Sihoobutyoo atas perintah Gunseikm.
Pasal
6 :
Selain dari pada atoeran jang
ditetapkan dalam pasal 2 sampai pasal 5, maka hal-hal jang termasoek dalam
kekoesaan Saikoo Hooin, Saikoo Kensatu Kyoku atau kekoeasaan ketoenja
masing-masing dilakoekan oleh Gunseikanbu Sihoobutyoo, atau Kootoo Hooin,
Kootoo Kensatu Kyoku ataupoen oleh ketoea Kootoo Hooin atau Kootoo Kensatu
Kyoku menoeroet petoendjoek Gunseilran.
Pasal
7 :
Oentoek
mengoeroes segala sebahagian pekerdjaan Kootoo Hooin atau
Kootoo
Kensstu Kyoku, maka Gunseikan boleh menjoeroeh Simpankan, Kensatukan atau
pegawai lain dari Kootoo Hooin atau Ken¬satu Kyoku oentoek bekerdja ditempat
jang perloe, jang boekan tempat kedoedoekan Kootoo Hooin atau Kootoo Kensatu
Kyoku.
Pasal
8 :
Dalam hal atjara mengadili parkara,
maka hal-hal jang tidak dapat dioeroes menoeroet atoeran jang soedah-soedah
haroes dioeroes menoe¬roet petoendjoek Gunseikan, demikian djoega hal-hal jang
tidak dapat dioeroes menoeroet atoeran jang soedah-soedah delam hal oeroesan
kehakiman jang lain dari pada atjara mengadili perkara.
Atoeran
tambahan :
Oendang-oendang ini moelai berlakoe
pada tanggal 15, boelan 1, tahoen Syoowa 19 (2604).
Djakarta,
tanggal 14, boelan 1, tahoen Syoowa 19, (2604)
(Saikoo
Sikikan)
Masa
Kemerdekaan
Setelah Indonesia Merdeka, pada saat berlakunya
Undang-undang Dasar 1945 belum ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya
ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24
ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No.
9, sampai dengan tahun 1946 ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya penunjukan
tempatnya saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi
“Menundjukkan sebagai tempat kedudukan Mahkamah Agung tersebut ibu-kota
DJAKARTA-RAJA.”
Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan setelah
diundangkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan kekuasaan
Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret
1947.
Undang-Undang
No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang
dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan :
1.
Mahkamah Agung
Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi.
2.
Pengadilan-pengadilan
federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-Undang federal, dengan
pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk
sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat
pertama, dan sekuran¬kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam
tingkat apel.
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar
Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada
tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan
demikian Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama tiga setengah tahun.
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung,
Kejaksaan Agung itu berada dibawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan:
bersama dibawah satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya:
Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya:
Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari
Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Kejaksaan
(Undang-Undang No. 15 tahun 1961) dibawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah
menjadi Menteri Jaksa Agung.
Para pejabat Mahkamah Agung (Ketua, Wakil Ketua,
Hakim Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah
dengan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan
pasal 21 Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.
Pemerintah Belanda Federal yang mengusai
daerah-daerah yang dibentuk oleh Belanda sebagai negara-negara Bagian seperti
Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan Pengadilan
Tertinggi yang dinamakan Hoogierechtshof yang beralamat di Jl. Lapangan Banteng
Timur 1 Jakarta, disamping Istana Gubemur Jenderal yang sekarang digunakan
sebagai gedung Departemen Keuangan.
Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding
terhadap putusan Raad no Justitie.Mr. G. Wjjers adalah Ketua Hooggerechtshof
terakhir, yang sebelum perang dunia ke II terkenal sebagai Ketua dari Derde
kamar Read van Instills Jakarta yang memutusi perkara-perkara banding yang
mengenai Hukum Adat.
Pada
saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah-¬daerah Republik
Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkan kembali kedaulatan
Republik Indonesia area seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat) maka
pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Pada tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah
Atmadja (Ketua MA RIS) mengambil alih gedung dan personil serta pekerjaan
Hooggerechtshof. Dengan demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer
General meletakkan jabatan masing-masing dan selanjutnya pekerjaannya
diserahkan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat.
Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam
majelis-majelis. Semua Hakim Agung ikut memeriksa dan memutus baik
perkara-perkara Perdata maupun perkara-perkara Pida-na. Hanya penyelesaian
perkara pidana diserahkan kepada Wakil Ketua.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang
berbentuk suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula dalam negara Republik
Indonesia Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari
masing-masing negara Bagian disatu pihak.
Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua
negara-negara Bagian dilain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia
Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai
Pengadilan Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan.
masing-masing negara Bagian. Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung
Republik Indo¬nesia Serikat adalah Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei
1950 (I-N. tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr.
Supomo yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Serikat, yang pertama (Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik Indonesia
di Yogya adalah Mr. Abdul Gafar Pringgodig¬do menggantikan Mr. Susanto
Tirtoprodjo - lihat halaman 34. "Kenang-kenangan sebagai Hakim selama 40
tahun mengalami tiga jaman" Oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro - terbitan tahun
1974). Menurut Undang-Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung
merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini
telah dihapuskan sewaktu kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1
tahun 1950 (I.N. tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang
terbatas pada lingkungan peradilan umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan
sebuah Undang-Undang No. 13 ta¬hun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang
tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang timbul setelah
diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut
menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku lagi.
Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu
adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah
Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70 tersebut
sebagai berikut:
Oleh karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950
tersebut disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur
pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-Undang No.
13 tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang
bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70
Undang-Undang No. 13 tahun 1965 hanya menghapus Undang-Undang No. 1 tahun 1950
sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja, sedangkan bagaimana jalan
peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-Undang No. 1 tahun
1950.
Pendapat
Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah
Agung yaitu dengan berpijak pada pasal 131 Undang-Undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng No.
14 tahun 1970 tentang "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman"
tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung
sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal
dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan
peradilan yang masing-masing terdiri dari:
1.
Peradilan Umum;
2.
Pemdilan Agama;
3.
Peradilan Militer;
4.
Peadilan Tata Usaha Negara.
Hakim
Agung harus mempunyai syarat sebagai berikut :
a.
Warga Negara
Indonesia
b.
Berjiwa
Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia
c.
Berjiwa dan
mengamalkan Pancasila dan Manipol serta segala pedoman pelaksanaannya
d.
Sarjana Hukum
e.
Ahli Hukum-bukan
Sarjana Hukum
f.
Berumur
serendah-rendahnya 35 tahun
g.
Berpengalaman
sedikit-dikitnya 10 tahun dalam bidang hokum
C.
Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung
Menurut Undang-undang Dasar 1945, wewenang
Mahkamah Agung adalah:
1)
Mengadili
pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
2)
Mahkamah
Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
a) menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
b) kewenangan
lainnya yang diberikan undang-undang.
Sedangkan Fungsi Mahkamah Agung
menurut UUD 1945 ada 5, yaitu:
1.
Fungsi
Peradilan
a)
Sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan
peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b)
Disamping
tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan
memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
c)
semua
sengketa tentang kewenangan mengadili. permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan
34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
d)
semua
sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang
e)
Republik
Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78
Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
f)
Erat
kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang
tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya)
bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2.
Fungsi
Pengawasan
a)
Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan
peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b)
Mahkamah
Agung juga melakukan pengawasan :
1) Terhadap
pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat
Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan
2) setiap perkara
yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan
petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3) Terhadap
Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur
·
Mahkamah
Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur
dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79
Undang-undang No.14 Tahun 1985).
·
Mahkamah
Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk
mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
4.
Fungsi Nasehat
Ø Mahkamah Agung
memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum
kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14
Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala
Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang
Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan
untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi
juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai
rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelaksanaannya.
Ø Mahkamah Agung
berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan
disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5.
Fungsi Administratif
§ Badan-badan
Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14
Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini
masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11
(1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
§ Mahkamah Agung
berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata
kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman).
D.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MAHKAMAH AGUNG
a)
Dapat
mengajukan tiga orang anggotanya untuk menjadi hakim konstisusi
b)
(ayat 2). Mahkamah Agung dapat memberikan
pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada
Lembaga-lembaga Tinggi Negara.
c)
(ayat 3). Mahkamah Agung memberikan nasehat hukum kepada
Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi.
d) (ayat 4). Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara
material hanya terhadap peraturan-peraturan perundangan di bawah Undang-undang.
e) Tugas dan Kewenangan Mahkamah Agung lebih luas dibandingkan dengan
Mahkamah Konstitusi.

Padahal,
dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah
Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan
lembaga negara lain menurut Undang- Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi
ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan
Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi,
lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut.
Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan
oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang
Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua
Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika
kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA,
maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di
Mahkamah Konstitusi.
E.
Kasus-Kasus Yang
Pernah Ditangani Mahkamah Agung
1) BUKAN ACENG
FIKRI YANG PERTAMA DITANGANI MA
Bupati Garut, Aceng Fikri,
terancam lengser dari jabatannya jika fatwa Mahkamah Agung memperkuat
permohonan surat rekomendasi pemberhentian dari DPRD Garut.
Jika MA memutuskan pernikahan
siri di bawah umur tersebut melanggar undang-undang, Aceng akan menjadi bupati
pertama di Indonesia yang dimakzulkan karena kasus pernikahan siri.
"Kalau nantinya di-impeach, dia ini yang pertama kali karena kasus menikah," kata Ketua Muda Urusan Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah, Paulus Effendi Lotulung, usai perayaan Natal 2012 Mahkamah Agung di Aula MA Jakarta, Sabtu 22 Desember 2012.
Dalam catatannya, Mahkamah Agung sudah pernah merekomendasikan pemakzulan kepada beberapa pejabat daerah. "Dulu sudah ada kasus lain, dulu Bupati Temanggung pernah karena kasus korupsi, Walikota Gorontalo pernah," katanya.
Paulus mengatakan pelanggaran undang-undang tergolong berat karena termasuk melanggar sumpah jabatan pejabat. "Dalam sumpah jabatan, seorang bupati bersumpah tidak melakukan pelanggaran UU, itu untuk semua UU. Jadi ini beratnya karena ada ancaman," katanya.
Namun, Paulus tidak mau terburu-buru menyatakan bahwa Aceng melanggar hukum, pasalnya ia sendiri belum membaca surat rekomendasi yang dikirimkan DPRD Garut. "Mungkin surat sudah masuk, saya belum baca. Apalagi saya beberapa kali nggak di Jakarta, saya di Surabaya," katanya.
Meski demikian peluang pemakzulan Aceng, menurut Paulus sangat terbuka. "Saya kira, secara yuridis ada," ujarnya.
Pernikahan siri Bupati Garut Aceng Fikri dengan Fani Oktora terjadi 14 Juli 2012 lalu membuat heboh. Pernikahan hanya berlangsung singkat, empat hari. Melalui pesan singkat (SMS), pada tanggal 17 Juli 2012 Aceng langsung menceraikan Fani. Aceng menuduh Fani sudah tidak perawan lagi.
DPRD Garut langsung membentuk Pansus untuk mengusut pernikahan siri kilat Aceng Fikri dengan gadis berumur 17 tahun. Setelah mendengarkan pandangan dari delapan fraksi pada rapat paripurna DPRD Garut, seluruh fraksi sepakat memberhentikan Bupati Aceng dari jabatannya.
"Karena lebih dari 3/4 setuju, maka bisa diambil keputusan pemberhentian," kata Ketua DPRD Garut, Ahmad Bajuri saat membacakan kesimpulan akhir di kantor DPRD, Jumat, 21 Desember 2012.
Sementara Aceng Fikri sendiri menyatakan siap melawan putusan DPRD ini. Aceng merasa telah dizalimi.
"Kalau nantinya di-impeach, dia ini yang pertama kali karena kasus menikah," kata Ketua Muda Urusan Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah, Paulus Effendi Lotulung, usai perayaan Natal 2012 Mahkamah Agung di Aula MA Jakarta, Sabtu 22 Desember 2012.
Dalam catatannya, Mahkamah Agung sudah pernah merekomendasikan pemakzulan kepada beberapa pejabat daerah. "Dulu sudah ada kasus lain, dulu Bupati Temanggung pernah karena kasus korupsi, Walikota Gorontalo pernah," katanya.
Paulus mengatakan pelanggaran undang-undang tergolong berat karena termasuk melanggar sumpah jabatan pejabat. "Dalam sumpah jabatan, seorang bupati bersumpah tidak melakukan pelanggaran UU, itu untuk semua UU. Jadi ini beratnya karena ada ancaman," katanya.
Namun, Paulus tidak mau terburu-buru menyatakan bahwa Aceng melanggar hukum, pasalnya ia sendiri belum membaca surat rekomendasi yang dikirimkan DPRD Garut. "Mungkin surat sudah masuk, saya belum baca. Apalagi saya beberapa kali nggak di Jakarta, saya di Surabaya," katanya.
Meski demikian peluang pemakzulan Aceng, menurut Paulus sangat terbuka. "Saya kira, secara yuridis ada," ujarnya.
Pernikahan siri Bupati Garut Aceng Fikri dengan Fani Oktora terjadi 14 Juli 2012 lalu membuat heboh. Pernikahan hanya berlangsung singkat, empat hari. Melalui pesan singkat (SMS), pada tanggal 17 Juli 2012 Aceng langsung menceraikan Fani. Aceng menuduh Fani sudah tidak perawan lagi.
DPRD Garut langsung membentuk Pansus untuk mengusut pernikahan siri kilat Aceng Fikri dengan gadis berumur 17 tahun. Setelah mendengarkan pandangan dari delapan fraksi pada rapat paripurna DPRD Garut, seluruh fraksi sepakat memberhentikan Bupati Aceng dari jabatannya.
"Karena lebih dari 3/4 setuju, maka bisa diambil keputusan pemberhentian," kata Ketua DPRD Garut, Ahmad Bajuri saat membacakan kesimpulan akhir di kantor DPRD, Jumat, 21 Desember 2012.
Sementara Aceng Fikri sendiri menyatakan siap melawan putusan DPRD ini. Aceng merasa telah dizalimi.
2) MA KABULKAN KASASI GOLKAR VERSI ICAL DAN PPP
KUBU DJAN FARIDZ
Mahkamah Agung (MA)
menggelar sidang kasasi terkait gugatan dari pemohon DPP Partai
Golkar dengan
nomor No.490K/TUN/2015, yang diwakili langsung oleh ketua umum versi Munas Bali
Aburizal Bakrie atau Ical dan Idrus Marham selaku Sekjen DPP Golkar dengan
versi yang sama.
Juru bicara MA Suhadi membenarkan pihaknya sudah mengeluarkan putusan kasasi. Sidang sengketa dualisme kepemimpinan antara kubu Ical dan Laksono Agung Cs ini dilaksanakan siang tadi pukul 13.00 WIB.
"Sesuai putusan MA kasus Golkar No 490K/TUN/2015, mengabulkan kasasi dari pemohon DPP Golkar diwakili Ir Aburizal Bakrie dan Idrus Marham. Di mana membatalkan putusan PT TUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) dan kembali ke putusan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)," ujar Suhadi saat dikonfirmasi, Selasa (20/10/2015).
Jika mengacu putusan PTUN yang mengabulkan sebagian gugatan kubu Ical --atas SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta atau kubu Agung, artinya MA menegaskan kubu Ical yang berhak diakui Kemenkumham.
Menurut Suhadi, sidang kasasi tersebut dipimpin Ketua Hakim Agung Imam Soebechi, Majelis Hakim Agung Irfan Fachruddin, dan Hakim Agung Supandi.
Selain menyidangkan kasasi yang diajukan Partai Golkar, MA juga menyidangkan kasasi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang diajukan Djan Faridz selaku Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta.
"Demikian juga kasasi PPP No 504K/TUN/2015, di mana mengabulkan kasasi pemohon dan kembali pada putusan PTUN," kata Suhadi.
Jika mengacu putusan PTUN yang membatalkan surat keputusan Menkumham --yang mengesahkan kepengurusan PPP versi Muktamar Surabaya pimpinan Romahurmuziy, maka kasasi ini menegaskan PPP kubu Djan Faridz yang berhak diakui Kemenkumham.
Juru bicara MA Suhadi membenarkan pihaknya sudah mengeluarkan putusan kasasi. Sidang sengketa dualisme kepemimpinan antara kubu Ical dan Laksono Agung Cs ini dilaksanakan siang tadi pukul 13.00 WIB.
"Sesuai putusan MA kasus Golkar No 490K/TUN/2015, mengabulkan kasasi dari pemohon DPP Golkar diwakili Ir Aburizal Bakrie dan Idrus Marham. Di mana membatalkan putusan PT TUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) dan kembali ke putusan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)," ujar Suhadi saat dikonfirmasi, Selasa (20/10/2015).
Jika mengacu putusan PTUN yang mengabulkan sebagian gugatan kubu Ical --atas SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta atau kubu Agung, artinya MA menegaskan kubu Ical yang berhak diakui Kemenkumham.
Menurut Suhadi, sidang kasasi tersebut dipimpin Ketua Hakim Agung Imam Soebechi, Majelis Hakim Agung Irfan Fachruddin, dan Hakim Agung Supandi.
Selain menyidangkan kasasi yang diajukan Partai Golkar, MA juga menyidangkan kasasi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang diajukan Djan Faridz selaku Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta.
"Demikian juga kasasi PPP No 504K/TUN/2015, di mana mengabulkan kasasi pemohon dan kembali pada putusan PTUN," kata Suhadi.
Jika mengacu putusan PTUN yang membatalkan surat keputusan Menkumham --yang mengesahkan kepengurusan PPP versi Muktamar Surabaya pimpinan Romahurmuziy, maka kasasi ini menegaskan PPP kubu Djan Faridz yang berhak diakui Kemenkumham.
3)
MA AKAN KEMBALI MENANGANI KASUS SENGKETA
PILKADA
Setelah beberapa
tahun masalah sengketa pilkada ditangani oleh MK (Mahkamah Konstitusi) maka
pemerintah berkeinginan untuk di kembalikan ke MA (Mahkamah Agung).
Padahal sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa perolehan suara dan penetapan kepala daerah ditangani MK.
Pihak Mahkamah Konstitusi mempersilakan jika kewenangan penanganan sengketa pilkada dikembalikan ke MA. Menurut Mahkamah konstitusi ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang tidak konsisten dan membuat UU hanya berdasarkan selera politik penguasa tanpa memikirkan desain penegakan demokrasi dan hukum.
Sengketa pilkada dahulu di tangani oleh MA. Dengan berbagai alasan akhirnya dipindah ke MK, lalu sekarang dipindah ke MA lagi. Sebenarnya yang perlu dipikirkan adalah konflik kepentingan di MA dan pengadilan di bawah karena akan sangat mudah diintervensi oleh kekuasaan.
kewenangan sengketa pilkada tetap menjadi kewenangan MK dan tidak perlu dipindah ke MA.
Ada beberapa alasan kewenangan agar tetap di MK. Pertama,soal kewenangan MK sudah cukup memiliki kewenangan untuk sengketa pilkada dan sudah berpengalaman sejak 2008. Hanya 1–2 perkara pilkada saja yang tidak diterima MK.
Kedua, hal ini akan mendorong keberlanjutan sistem. Yang perlu dilakukan tinggal melakukan penataan, misalnya perpanjangan waktu penyelesaian. Ketiga, MA sedang dalam penataan di internal, serta memiliki beban kerja masing-masing lembaga yang tinggi. Hal itu terlihat dari beban perkara dan penunggakan perkara yang juga cukup tinggi.
Dalam Pasal 31 dan Pasal 127 Rancangan Undang-Undang Pilkada yang diajukan pemerintah, di mana Pasal 31 Ayat (1) disebutkan, calon gubernur yang merasa dirugikan atau mempunyai bukti awal adanya dugaan politik yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pemilihan dapat mengajukan keberatan ke MA.
Usulan pengalihan kewenangan penanganan sengketa pilkada itu disetujui oleh sejumlah anggota Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Pimpinan Panja RUU Pilkada. Kelihatannya DPR sepakat dengan usulan pemerintah tersebut.
Hasil dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010 lalu yaitu dari 224 daerah melaksanakan pilkada, ada 165 daerah yang digugat ke MK dengan jumlah kasusnya 229, yang dikabulkan MK 26 kasus, 6 kasus kesalahan KPU dan 20 kesalahan calon.
Dalam usianya yang ke-9 tahun Mahkamah Konstitusi, maka jika ditilik dari jumlah perkara yang masuk, dalam usia yang relatif masih muda, MK terbukti telah sangat dipercaya oleh masyarakat dan telah menerima perkara sekitar 1082 perkara konstitusi.
Padahal sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa perolehan suara dan penetapan kepala daerah ditangani MK.
Pihak Mahkamah Konstitusi mempersilakan jika kewenangan penanganan sengketa pilkada dikembalikan ke MA. Menurut Mahkamah konstitusi ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang tidak konsisten dan membuat UU hanya berdasarkan selera politik penguasa tanpa memikirkan desain penegakan demokrasi dan hukum.
Sengketa pilkada dahulu di tangani oleh MA. Dengan berbagai alasan akhirnya dipindah ke MK, lalu sekarang dipindah ke MA lagi. Sebenarnya yang perlu dipikirkan adalah konflik kepentingan di MA dan pengadilan di bawah karena akan sangat mudah diintervensi oleh kekuasaan.
kewenangan sengketa pilkada tetap menjadi kewenangan MK dan tidak perlu dipindah ke MA.
Ada beberapa alasan kewenangan agar tetap di MK. Pertama,soal kewenangan MK sudah cukup memiliki kewenangan untuk sengketa pilkada dan sudah berpengalaman sejak 2008. Hanya 1–2 perkara pilkada saja yang tidak diterima MK.
Kedua, hal ini akan mendorong keberlanjutan sistem. Yang perlu dilakukan tinggal melakukan penataan, misalnya perpanjangan waktu penyelesaian. Ketiga, MA sedang dalam penataan di internal, serta memiliki beban kerja masing-masing lembaga yang tinggi. Hal itu terlihat dari beban perkara dan penunggakan perkara yang juga cukup tinggi.
Dalam Pasal 31 dan Pasal 127 Rancangan Undang-Undang Pilkada yang diajukan pemerintah, di mana Pasal 31 Ayat (1) disebutkan, calon gubernur yang merasa dirugikan atau mempunyai bukti awal adanya dugaan politik yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pemilihan dapat mengajukan keberatan ke MA.
Usulan pengalihan kewenangan penanganan sengketa pilkada itu disetujui oleh sejumlah anggota Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Pimpinan Panja RUU Pilkada. Kelihatannya DPR sepakat dengan usulan pemerintah tersebut.
Hasil dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010 lalu yaitu dari 224 daerah melaksanakan pilkada, ada 165 daerah yang digugat ke MK dengan jumlah kasusnya 229, yang dikabulkan MK 26 kasus, 6 kasus kesalahan KPU dan 20 kesalahan calon.
Dalam usianya yang ke-9 tahun Mahkamah Konstitusi, maka jika ditilik dari jumlah perkara yang masuk, dalam usia yang relatif masih muda, MK terbukti telah sangat dipercaya oleh masyarakat dan telah menerima perkara sekitar 1082 perkara konstitusi.
2 komentar:
bab 3 nya mana njer
njir, bab 3nya mana
Posting Komentar